Cerita 2: Pendengaran & Penciuman

#5 Macaroni-schotel

Sebuah percakapan via telepon:

Ibu: “Halo, anakku apa kabar? sedang apa disana?”

A: “Halo Bu, kabar baik. Saya sedang menunggu sampel matang di oven.”

Ibu: “Memangnya kamu lagi buat apa Nak?”

A: “Ini loh Bu, biasa untuk tugas akhir… dye-sensitized-solar-cell…”

Ibu: “APAAA??? kamu jauh-jauh kuliah di Bandung hanya buat macaroni-schotel?”

A: !@#$%^&*_)(*&^%$#_)(*&^%$

#6 Minyak Solar

Sebuah percakapan lain via telepon:

Ibu: “Halo, anakku apa kabar? sedang buat apalagi disana?”

A: “Halo Bu, masih kabar baik Bu. Saya sedang menguji sampel Bu.”

Ibu: “Memangnya kamu lagi buat apa Nak?”

A: “Hmm… ituloh Bu… solar-cell…”

Ibu: “APAA… MINYAK SOLAR???”

A: !@#$%^&*_)(*&^%$#@#$%^&*(

#7  Bau Gosong dan Pilek (1)

Suatu waktu di lab yang sedang penuh sesak.

Dosen: “Huff… Huff… bau apa ini… Hai A, kamu cium bau gosong ga?”

A: “Huff… Huff… iya Pak… ada aroma gosong nih Pak…”

Dosen: “A, Coba tanya Pak R di depan situ…”

A: “Pak R, kok ada bau gosong, dari mana ya?”

Pak R: “Oh, itu mah bau cat tembok… Tuh, ada tukang yang lagi mengecat.”

A: “Punten Pak, baunya dari dalam ruangan lab sini Pak.”

Pak R: “Sebentar saya periksa… Oh ini mah exhaust fan yang rusak, coba matikan.”

Dosen: “masih bau Pak R.”

Pak R: “Owalah, Huff… Huff… sepertinya ini dari ruang  sebelah… coba cek…”

A: “Huff… Huff… Ya ampun, disini bau gosong sangat menyengat Pak!!!”

A: “Permisi, kamu lagi praktikum kimia ya disini?”

X: “Iya… Ada masalah apa ya?”

A: “Kamu ga mencium bau gosong yang sangat menyengat disini???”

X: “Ga tuh. Saya lagi PILEK, jadi hidung saya tersumbat.”

A: !@#$%^&*()(*&^%$#@!#$%^&*(

#8 Bau Gosong dan Pilek (2)

Kemudian, Pak R mencari-cari sumber bau gosong tersebut.

Pak R: “Dik X, kamu yang praktikum disini?”

X: “Iya Pak, saya sedang praktikum kimia disini.”

Pak R: “Ini kamu juga yang pakai ultrasonik cleaner-nya?”

X: “Iya Pak, memangnya kenapa Pak?”

Pak R: “Loh, kok ga ada airnya. Kemana air di dalam wadahnya?”

X: “Loh, memang harus pake air ya Pak?”

Pak R: “YA IYALAH, kalau ga pake air ya GOSONG!”

A: !@#$%^&*()_)(*&^%$#@!@#$%^&*(

(Cerita ini ditulis juga di materials.tf.itb.ac.id/story)

Apakah Sel Surya Ramah Lingkungan?

Banyak orang yang bertanya apakah sel surya atau solar cell (Photovoltaic) itu ramah lingkungan. Banyak pendekatan yang bisa digunakan untuk menjawab hal tersebut, diantaranya emisi gas CO2 yang dihasilkan, toksisitas dari material yang digunakan, dan energi yang dipinjam ketika membuat sel surya itu sendiri. Dalam kesempatan ini saya mencoba menggunakan pendekatan energi yang dipinjam ketika membuatnya, sering juga disebut energy payback.

Energy payback diartikan sebagai energi total yang digunakan untuk membuat sel surya sejak dari bahan mineral sampai menjadi modul. Dari sini kita bisa menentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh sel surya untuk membayar kembali energi yang telah dipinjam. Sekarang ini, banyak industri sel surya menggunakan silikon off-grade yakni sisa dari industri mikroelektronik yang kemudian direkristalisasi. Oleh karena itu, perhitungan waktu pengembalian energi juga tidak berbanding lurus, ada beberapa asumsi yang digunakan.

Beberapa penelitian sudah dilakukan untuk mengkalkulasinya. Alsema, peneliti Belanda, memperkirakan energi yang diperlukan untuk membuat modul surya (tanpa frame) berbahan silikon monokristal adalah 600kWh/m2 dan berbahan silikon multikristal 420kWh/m2. Dengan mengambil asumsi efisiensi  12% dan energi radiasi matahari 1700kWh/m2/tahun (rata-rata Amerika Serikat 1800 sedangkan Indonesia 4500), Alsema mengkalkulasi waktu pengembalian energi untuk modul surya multikristal sekarang ini sekitar 4 tahun. Bila diprediksi dalam kurun 10 tahun dengan suplai silikon solar-grade dan efisiensi 14%, waktu pengembalian energy payback akan turun menjadi 2 tahun. Beberapa penelitian lain juga mendukung Alsema, seperti Kato et al yang menyatakan waktu pengembalian 2 tahun. Palz dan Zibetta juga menyatakan waktu 2 tahun untuk silikon multikristal sekarang ini.

Sedangkan untuk silikon monokristal, Kato menghitung bahwa waktu pengembaliannya adalah 3 tahun. Disisi lain, Knapp dan Jester mempelajari fasilitas manufaktur modul surya secara aktual dan menemukan waktu pengembalian 3,3 tahun. Perhitungannya sudah memasukkan energi untuk membuat bingkai aluminum dan energi untuk memurnikan dan menkristalisasi silikon. Lalu pada sel surya thin-film, energi secara dominan digunakan  untuk substrat, proses deposisi material, dan operasional fasilitas. Sebagai contoh, sel surya berbahan silikon amorf, Alsema menghitung energi sebanyak 120kWh/m2 pada teknologi yang akan digunakan dalam waktu dekat dan tanpa frame. Kemudian dia menambahkan 120kWh/m untuk frame dan struktur penunjang untuk atap dan sistem grid-connection. Lalu dengan asumsi energi radiasi 1700kWh/m2/tahun, waktu pengembalian energi payback adalah 3 tahun. Sedangkan Kato dan Palz memprediksikan durasi waktu yang lebih pendek yakni 1 sampai 2 tahun. Dengan investasi 1-4 tahun energi yang dihasilkan, sistem modul surya yang dipasang di atap dapat menghasilkan lebih dari 30 tahun energi bersih. Sedangkan modul surya yang dipasang di atas tanah, dibutuhan tambahan 1 tahun waktu pengembalian untuk struktur penunjangnya.

Kesimpulannya, dengan kisaran 3-4 tahun waktu pengembalian energi payback, sel surya mampu memberikan 25-30 tahun energi bersih. Dengan kata lain, sel surya bisa dikategorikan teknologi yang ramah lingkungan.

Sumber: http://www.nrel.gov/ncpv

DSC dan Thermocouple

#4 DSC
12 Desember 2010

Tamu: “Selamat siang Mas, di lab ini bisa mengukur DSC?”
KF: “Oh, bisa Mbak… bawa sampelnya sekarang?”
Tamu: “Ga bawa…”
KF: “Oh, ya memang harus disetting dulu alatnya.”
Tamu: “Bisa ‘suhu negatif’ kan Mas?”
KF: “@#$%^&* … negatif, maksudnya apa ya?”
Tamu: “Iya pengukurannya dilakukan pada suhu negatif.”
KF: “@#$%^%^+_)(&* … Mbak maksudnya mau ukur DSC (Dye-sensitized Solar Cell)”
Tamu: “Waaaah… bukan itu tapi DSC (Differential Scanning Calorimeter)”
KF: “!@#$%^&*()!%^&*@#$%^&*(), maaf Mbak ga ada alatnya disini.”  )

#3 Termocouple
10 Desember 2010

A: “P, hari ini kita kalsinasi zinc oxide ya…”
P: “OK, mana sampelnya, biar saya masukkan kedalam oven.”
A: “Ini samplenya, panaskan sampai 300 derajat ya)”
P: “OK… sudah saya setting, tinggal ditunggu nih…”
A: “P, sudah 30 menit, coba dicek sudah berapa suhunya?”
P: “Masih 26 derajat.”
A: “Kok lama ya naik suhunya…?”
A: “P, sudah 1 jam nih, coba dicek lagi…”
P: “Masih tetap 26 derajat.”
A: “Hah? kok ga panas-panas ya?”
A: “P, sudah 2 jam nih, coba dong dicek suhunya…”
P: “Hmm… masih 26 derajat tuh.”
A: “WHAAAT??? coba dicek yang benar!!”
P: “Halah, ini termocouple-nya belum dimasukkan kedalam oven ternyata.”
A: !@#$%^&*()__)(*&^%$#@

SolarShell dan MacaroniScottel

1. Sebuah percakapan singkat:

A: Eh, topik tugas akhir kamu tentang apa? Katanya tentang material-material gitu?

B: Oh, itu … tentang Solar Cell.

A: Lho, kok… jadinya malah tentang minyak?

B: Tentang minyak bagaimana?

A: Ya itu, Solar yang sejenis minyak tanah itu, dan Shell yang pombensin saingan Pertamina, ya kan?

B: O.M.G, bukan SolarShell, tapi SolarCell… !@#$%^&*()(*&^%$#

2. Sebuah percakapan online, dengan status Ym si B: “Sintering Dye-Sensitized Solar Cell @ lab”:

B: aku lagi nunggu tungku nih…

B: ngoven gitu deh…

A: ha?

A: dimana?

B: solar cell-nya lagi di-sintering, dipanasin sampai 450 derajat

B: sekarang udah 400 kayaknya, sedikit lagi

A: kirain kamu bikin MacaroniScottel

A: =))

B: hadoooo =))

B: masak macaroni scotell sih,

B: Dye-Sensitized Solar Cell!!! !@#$%^&*($%^&*(

Waldpolenz Solar Park

Salah satu sumber energi terbarukan yang berhamburan percuma adalah sinar matahari. Selain tumbuhan yang memanfaatkannya untuk berfotosintesis, manusia juga memanfaatkannya, tapi hanya sebatas sebagai sumber panas: menjemur pakaian dan memanasi air. Padahal sinar matahari ini menyimpan energi foton yang bisa digunakan untuk membangkitkan listrik. Tentunya dengan bantuan teknologi yang lazim disebut teknologi Photovoltaic (PV), atau Solar Cell, atau juga Sel Surya. Teknologi ini memanfaatkan kemampuan suatu material yang menyerap sinar matahari dan mengubahnya menjadi listrik. Aplikasinya adalah sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Karena di negara kita belum ada PLTS raksasa, maka tak mengapa bila kita melirik lebih jauh ke Jerman, tepatnya Waldpolenz di Saxony. Saat ini, PLTS terbesar di dunia berada di sana dengan kapasitas 40 megawatt (MW) peak, karena akan ada yang lebih besar lagi 80 MW di California AS, 154 MW di Victoria Australia, dan 190 MW di Italia yang kini masih dalam tahap pembangunan. Waldpolenz Solar Park yang akan mulai beroperasi pada bulan Juni tahun ini, dibangun oleh Juwi Group, sebuah perusahaan Jerman, sedangkan modul suryanya disuplai oleh First Solar. Proyek raksasa ini menghabiskan 201 juta dolar amerika atau sekitar 2 trilyun rupiah dan direncanakan beroperasi selama 20 tahun. Adapun luas lahan yang ditempati oleh pembangkit ini adalah 2 kilometer persegi, setara 200 lapangan sepak bola. PLTS yang menggunakan 550.000 modul surya jenis thin film ini mampu menyuplai kebutuhan listrik untuk 40.000 rumah. Uniknya, pembangkit ini menempati lahan bekas pangkalan militer yang tidak terpakai.

Seandainya, lahan kritis di Indonesia yang berjumlah 30 juta hektar tahun 2009 ini, dimanfaatkan seperti Waldpolenz Solar Park di Jerman sana, mungkin krisis listrik yang melanda sekarang sedikit teratasi. Dengan target pembangunan 10.000 MW, diperlukan serupa Waldpolenz Solar Park sebanyak 250 buah, dengan luas 500 km persegi atau 50.000 hektar, atau sekitar 0,17% dari lahan kritis di Indonesia. Investasi yang diperlukan memang sekitar 500 trilyun rupiah, amat sangat besar (dibandingkan subsidi BBM tahun 2009 sekitar 100 trilyun), namun selama 20 tahun kita gratis listrik, dan sangat membantu lingkungan mengurangi efek rumah kaca dengan reduksi 5,6 juta ton karbondioksida per tahun per 1000 MW listrik untuk pembangkit batu bara. Tentunya juga tidak sekadar membangun pembangkit listrik tenaga surya raksasa dengan mengimpor modul surya dari luar negeri lalu kita tinggal memasangnya. Tetapi sebisa mungkin membuatnya sendiri sehingga mendorong tumbuhnya industri photovoltaik di dalam negeri, serta merangsang berkembangnya industri semikonduktor di tanah air. Masak sih, kita harus mengekspor pasir silika terus dengan harga murah pula, lalu mengimpor produk silikon dalam bentuk elektronika seperti panel surya dengan harga mahal.